Pakar-pakar pendidikan di Indonesia menilai bahwa
salah satu sebab utama kegagalan pendidikan kita karena para pendidiknya yang
gagal. Padahal, salah satu syarat mutlak untuk keberhasilan pendidikan adalah
dipilihnya pendidik yang baik. Nah, Rasulullah adalah suri tauladan yang
terbaik, karenanya mari kita berkaca dari sepercik cara mendidik anak ala
beliau.
Pakar-pakar pendidikan di Indonesia menilai bahwa
salah satu sebab utama kegagalan pendidikan kita karena para pendidiknya yang
gagal. Kita dalam hal ini berada dalam lingkaran setan, anak didik tidak
berkualitas ternyata karena gurunya yang kurang bermutu, akhirnya pendidikannya
gagal. Memang salah satu syarat mutlak untuk keberhasilan pendidikan adalah
dipilihnya pendidik yang baik, yang sebelumnya perlu dididik pula. Sebenarnya
kalau melihat ke sejarah Nabi, problema ini baru terselesaikan karena Allah
Swt. turun tangan.
Anak didik dibentuk oleh empat faktor. Pertama, ayah
yang berperan utama dalam membentuk kepribadian anak. Bahkan, dalam Al-Quran
hampir semua ayat yang berbicara tentang pendidikan anak, yang berperan adalah
ayah. Kedua, yang membentuk kepribadiannya juga adalah ibu; ketiga, apa yang
dibacanya (ilmu); dan keempat, lingkungan. Kalau ini baik, anak bisa baik, juga
sebaliknya. Begitu pula baik-buruk kadar pendidikan kita.
Empat faktor ini belum tentu semuanya terwujud.
Ketika Allah Swt. menetapkan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya, maka yang
membentuk kepribadiannya adalah Allah Swt. Sebab, bila diserahkan kepada
masyarakat atau keluarga, maka ia tidak akan sempurna, bisa jadi keliru. Dalam
hal ini, Tuhan yang melakukan, sedangkan masyarakat atau keluarga diberi
peranan yang sangat sedikit. Itu sebabnya bila telah selesai peranan ayah, maka
dia diambil-Nya meninggal dunia. Ini karena Tuhan tidak mau beliau dididik
bapaknya. Begitu lahir dibawa ke desa dan ketika usia remaja baru ketemu
ibunya. Namun, ibunya pun kemudian diambil-Nya. Selain itu, beliau lahir di
lingkungan dengan gaya hidup yang terbelakang, bahkan hampir tidak tersentuh
oleh peradaban. Padahal, waktu itu Mesir, Persia, dan India semunya sudah maju.
Dalam hal ini, Allah Swt. ingin mendidik langsung beliau untuk menjadi
pendidik, yakni figur yang diteladani bagaimana seharusnya mendidik. Itu
sebabnya beliau bersabda, Addabanî Rabbî fa Ahsana Ta’dîbi (“Yang mendidik
saya itu adalah Tuhan”). Juga, Bu’itstu Mu’alliman (“Saya diutus-Nya menjadi
pengajar, pendidik”).
Kita ambil beberapa inti dari kisah hidup Rasulullah
Saw. Beliau bersabda, “Bila ingin anak yang membawa namamu itu tumbuh
berkembang dengan baik, maka pilih-pilihlah tempat kamu meletakkan spermamu,
karena gen itu menurun”. Jadi, sebelum anak lahir kita harus memilih hal yang
baik, karena gen ini mempengaruhi keturunan. Pakar pendidikan mengakui bahwa
ada faktor genetik dan pendidikan. Walaupun mereka berbeda pendapat yang mana
lebih dominan, namun yang jelas keduanya punya pengaruh. Penulis pribadi
cenderung berpendapat yang lebih dominan itu sebenarnya pada pendidikan, bukan
sperma (gen). Sebagai analogi, bila kita lagi sumpek, masakan kita bisa tidak
enak. Di sini ada pengaruh dari emosi dan sikap pada saat membuat suatu
masakan. Jadi, bila ingin anak yang baik, maka harus ditanamkan perasaan yang
enak, harmonis, dan penuh keagamaan sewaktu memproduksinya. Ini berpengaruh
kepada jabang bayi. Ketika membuatnya dalam situasi ketakutan, maka anaknya pun
akan menjadi penakut. Anak yang lahir di luar nikah itu berbeda dengan anak
yang lahir dari hubungan yang sah. Karena semua orang sadar dalam hati bahwa
perzinahan itu buruk, maka hal ini nantinya dapat berpengaruh terhadap anak.
Karena itu pula, Nabi Saw. memerintahkan untuk memilih tempat-tempat yang baik
saat menanamkan sperma kita dan dianjurkan sebelumnya untuk membaca doa dan
tidak dihantui rasa takut atau cemas.
Di dalam Al-Quran diterangkan, Nisâukum hartsun
lakum (Isteri kamu adalah ladang buatmu). Di sini Al-Quran mengumpamakan suami
sebagai “petani” dan isteri sebagai “ladang”. Kalau petani menanam tomat,
apakah apel yang tumbuh? Siapa yang salah, bila si suami menghendaki anak
laki-laki namun yang lahir perempuan, petani atau ladangnya? Tentu petani.
Setelah ditanam, semestinya benih itu dipelihara. Bila ada hama, maka perlu
dipupuk, disirami, dan dipelihara dengan baik. Setelah ada hasilnya, maka perlu
dicuci dulu bila ingin dimakan. Dan bila ingin dijual, juga dibersihkan dulu
dan dikemas sedemikian rupa agar dapat bermanfaat. Ini sebenarnya pelajaran
dalam Al-Quran. Agar buah yang lahir dari kehidupan suami-isteri ini bisa
membawa manfaat sebanyak mungkin, maka harus memperhatikan sang isteri (ibu).
Dari sini, sekian banyak anjuran untuk memberikan makanan yang bergizi bagi
seorang ibu. Di masa Nabi Saw, buah yang paling banyak adalah kurma. Kurma itu
memiliki vitamin dan karbohidrat yang tinggi. Nabi Saw. berkata, “Isteri-isteri
kamu yang sedang hamil, maka berilah ia kurma agar supaya anaknya lahir sehat
dan gagah”.
Hal di atas menunjukkan bahwa jauh sebelum anak
dilahirkan, ternyata Islam telah memiliki landasan dan tempat berpijak. Lalu,
apa yang perlu diperankan orang tua sekarang?
Pertama, satu hal yang perlu
digarisbawahi, begitu seorang anak lahir, Islam mengajarkan untuk diadzankan.
Walaupun anak itu belum mendengar dan melihat, tapi ini memiliki makna
psiko-keagamaan pada pertumbuhan jiwanya. Anak yang baru beberapa hari lahir,
kalau ia ketawa, anda jangan menduga bahwa ia ketawa karena atau dengan ibunya,
tapi karena ia merasakan kehadiran seseorang. Para pakar mengatakan demikian,
karena ada orang yang lahir buta tetap tersenyum saat ibu mendekatinya. Jadi,
seorang bayi memiliki rasa pada saat mendengar adzan, juga memiliki jiwa yang
bisa berhubungan dengan sekelilingnya. Karena itu, adzan menjadi kalimat
pertama yang diucapkan kepadanya. Dan, karena saat membacakan adzan seorang
muadzin berhubungan dengan Tuhan, maka inilah yang memberikan dampak bagi
perkembangan anak ke depan.
Kedua, sampai umur tujuh hari, kelahiran anak perlu
disyukuri (‘aqiqah). Kalau begitu, jangan sampai terbetik dalam pikiran
ibu/bapak merasa tidak mau atau tidak membutuhkannya, karena saat itu sang anak
sudah punya perasaan dan harus disambut dengan penuh syukur (‘aqiqah). Misal,
ada orang yang mengharapkan anak laki-laki, namun kemudian lahir anak
perempuan, akhirnya ia kecewa serta tidak menerima dan menyukurinya. Semestinya
perlu disyukuri, baik laki-laki maupun perempuan.
Ketiga, setelah ‘aqiqah, sang anak baru diberi nama
yang terbaik karena dalam hadis disebutkan, “Di hari kemudian nanti orang-orang
itu akan dipanggil dengan namanya”. Dalam hadis lain dijelaskan, “Nama itu
adalah doa dan nama itu bisa membawa pada sifat anak kemudian”. Jadi, pilihlah
nama yang baik untuknya.
Nama itu adalah sebuah doa yang menyandangnya. Ada
ilustrasi, sebelum perang Badar (2 H.). berkecamuk, ada duel perorangan antara
kaum muslim dan musyrik. Ali, Hamzah, dan ‘Ubaidah dari pihak kaum muslim,
sedangkan dari pihak kaum musyrik yaitu ‘Utbah, Al-Walid dan Syaibah. Ali (yang
tinggi) melawan Utbah (orang yang kecil). Hamzah (singa) berhadapan dengan
Syaibah (orang tua). Al-Walid (anak kecil) berhadapan dengan ‘Ubaidah (hamba
yang masih kecil). Bisa dibayangkan, bagaimana kalau orang yang tinggi besar
berhadapan dengan anak kecil atau orang yang dijuluki “singa” dengan orang tua,
siapa yang menang? Yang terjadi, Ali dan Hamzah berhasil membunuh lawannya,
sedangkan Ubaidah dan al-Walid tidak ada yang terbunuh hanya keduanya terluka.
Nabi Saw. dipilihkan oleh Allah semua nama yang baik
dan sesuai, karena ia adalah doa bagi yang menyandangnya. Misal, Nabi memiliki
ibu bernama Aminah (yang memberi rasa aman) dan ayahnya Abdullah (hamba Allah).
Yang membantu melahirkan Nabi namanya As-Syaffa (yang memberikan kesehatan dan
kesempurnaan). Yang menyusuinya adalah Halimah (perempuan yang lapang dada),
jadi Nabi dibesarkan oleh kelapangan dada. Anjuran untuk memilih nama yang
mengandung doa juga dimaksudkan agar jangan sampai menimbulkan rasa rendah diri
pada sang anak.
Keempat, mendidik anak bagi Nabi Saw. adalah
menumbuhkembangkan kepribadian sang anak dengan memberikan kehormatan
kepadanya, sehingga beliau sangat menghormati anak-cucunya. Bila memang sejak
kecil ia sudah memiliki perasaan, maka jangan sampai ada perlakuan yang
menjadikannya merasa terhina. Allah merahmati seseorang yang membantu anaknya
untuk berbakti kepada orang tuanya. Nabi Saw. pernah ditanya, “Bagaimana
seseorang membantu anaknya supaya ia berbakti?”, Nabi berkata: “Janganlah ia
dibebani (hal) yang melebihi kemampuannya, memakinya, menakut-nakutinya, dan
menghinanya”.
Ada sebuah riwayat, seorang anak lelaki digendong
oleh Nabi dan anak itu pipis, lantas ibunya langsung merebut anaknya itu dengan
kasar. Nabi kemudian bersabda, “Hai, bajuku ini bisa dibersihkan oleh air,
tetapi hati seorang anak siapa yang bisa membersihkan”. Riwayat lain
menyebutkan bahwa Nabi berkata, “Jangan, biarkan ia kencing”. Dari hal ini,
muncul ketentuan, bila anak laki-laki kencing cukup dibasuh, sedangkan bila
anak perempuan dicuci dengan sabun. Riwayat tadi memberi pelajaran bahwa sikap
kasar terhadap seorang anak dapat mempengaruhi jiwanya sampai kelak ia dewasa.
Namun sisi lain, ada satu hal di mana Nabi sangat
hati-hati dalam persoalan anak. Ketika Nabi lagi di masjid, ada orang yang
kirim kurma, kemudian cucunya datang dan mengambil sebuah kurma lalu
dimakannya. Nabi bertanya kepada ibunya, “Ini anak tadi mengambil kurma dari
mana?” Sampai akhirnya, dipanggilnya Saidina Hasan dan dicongkel kurma dari
mulutnya. Ini maknanya apa? Nabi tidak mau anak cucunya itu memakan sesuatu
yang haram, walaupun ia masih kecil dan tidak ada dosa baginya, karena itu akan
memberikan pengaruh kepadanya kelak ia besar.
Ada cerita dari pengalaman seorang ibu yang
pendidikannya hanya sampai SD dan memiliki 13 anak, tetapi semuanya berhasil.
Suatu ketika, ada orang yang bertanya kepada si ibu itu, “Doa apa yang dipakai
ibu sehingga semuanya berhasil?” Jawabnya, “Saya dan suami saya tidak banyak
berdoa. Tapi, bila anak saya bersalah atau saya tidak senang perbuatannya, saya
selalu berkata, “Mudah-mudahan Tuhan memberimu petunjuk”. Jadi, anak ini tidak
dimaki, dikutuk, atau dimarahi. Dan, kami kedua orang tuanya tidak pernah
memberi makan mereka dengan makanan yang haram”.
Sumber : http://blog.umy.ac.id